Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI
Terkait dengan perbedaan Idul Adha, saya sudah menjelaskan sebab-sebabnya di
http://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/11/09/menyikapi-perbedaan-idul-adha-1431/
Namun yang masih sering ditanyakan adalah “mengapa kita tidak mengikuti saja wukuf di Arafah?” Persoalan yang paling mendasar adalah apakah ada dalil yang secara tegas memerintahkan shaum Arafah bersamaan saat jamaah haji berwukuf? Menurut kaidah fikih, suatu ibadah hanya dilaksanakan bila ada dalil yang memerintahkannya.
Dalil yang ada (merujuk pada situs HTI) hanya ini:
«فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ، وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ»
Hari Raya Idul Fitri kalian adalah hari ketika kalian berbuka (usai puasa Ramadhan), dan Hari Raya Idul Adha kalian adalah hari ketika kalian menyembelih kurban, sedangkan Hari Arafah adalah hari ketika kalian (jamaah haji) berkumpul di Arafah. (HR as-Syafii dari ‘Aisyah, dalam al-Umm, juz I, hal. 230).
Tidak ada seorang pun yang mengingkari hadits ini bahwa wukuf dilaksanakan pada hari Arafah. Hari Arafah hanya penamaan 9 Dzulhijjah, sama halnya dengan Yaum Nahar untuk 10 Dzulhijjah, dan Yaum Tasyrik untuk 11-13 Dzulhijjah. Karena Yaum Arafah hanya penamaan hari, maka sebagian besar ulama di Indonesia dan Malaysia serta beberapa negera lainnya memahaminya bahwa hari itu bisa ditentukan secara lokal tergantung kondisi hilalnya.
Di wilayah sekitar Arafah, shaum Arafah dilaksanakan bersamaan dengan wukuf karena di sana pun 9 Dzulhijjah. Di tempat lain, shaum Arafah juga dilaksanakan pada hari Arafah (artinya 9 Dzulhijjah) yang ditentukan secara lokal, namun belum tentu bersamaan dengan wukuf. Kalau pelaksanaan shaum Arafah yang tidak bersamaan dengan wukuf dianggap kesalahan, anggapan itu haruslah didukung dalil qath’i yang tegas memerintahkan shaum Arafah saat jemaah haji sedang wukuf. Sayangnya dalil qath’i (tegas) seperti itu tidak ada atau belum saya temukan.
Belum lagi masalah beda waktu untuk wilayah yang jauh dengan Arab Saudi yang juga harus difahami. Tidak sekadar menyamakan hari (misalnya Senin wukuf, shaum juga harus Senin) yang pada dasarnya merujuk pada definisi hari garis tanggal internasional (hasil konvensi manusia), bukan hari menurut garis tanggal qamariyah (murni aturan Allah sesuai sunnatullah). Tanpa pemahaman fisik bulatnya bumi, kita bisa terjebak pada konsep kesamaan hari konvensi buatan manusia dengan mengabaikan hakikat hari menurut kaidah qamariyah. Dengan kata lain, karena ketidaktahuan konsep fisisnya, niat ikhlas menerapkan syariat bisa terbelokkan oleh penafsiran manusiawi yang mementingkan kesamaan hari dalam konsep garis tanggal internasional dan mengabaikan konsep hari menurut garis tanggal qamariyah.
Perbedaan pemaknaan hari Arafah dan implementasinya bisa berdampak pada perbedaan penentuan hari Idul Adha. Hari Idul Adha adalah tanggal 10 Dzulhijjah, arinya keesokan hari setelah Hari Arafah.
0 komentar:
Posting Komentar