Pages

Subscribe:

Labels

Laman

Kamis, 25 Februari 2010

Pro-Kontra Pidana Pelaku Nikah Siri dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agam

Pro-Kontra Pidana Pelaku Nikah Siri dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama

Terinspirasi Kelahiran 35 Juta Anak Hasil Nikah Siri

Rencana pemerintah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Materiil
Peradilan Agama tentang Perkawinan menuai polemik. Draf RUU yang mengatur nikah
siri, poligami, dan kawin kontrak itu disoal berbagai kalangan. Negara dinilai
menerobos batas syariah Islam dan hukum formal demi membela hak perempuan.

---

NAMA Profesor Nasaruddin Umar kian populer dalam sebulan terakhir. Dalam laman
pencarian Google saja, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama itu tercatat dalam
130 ribu laman web yang berbeda. Sayang, tak sedikit dari itu yang mengecam
dirinya. Penyebabnya, Nasaruddin adalah orang yang memopulerkan isu RUU Hukum
Materiil Peradilan Agama tentang Perkawinan di media-media nasional. Dia juga
dikecam karena dinilai berupaya memfasilitasi pemerintah dalam mengekspansi
ranah syariat dengan alat RUU itu.

Kepada Jawa Pos, Nasaruddin tak membantah fakta itu. Dia menegaskan, perjuangan
mengegolkan RUU yang digagas Kementerian Agama itu memang sudah final. Artinya,
dia tidak akan mundur untuk mendukung pengesahan RUU yang menuai polemik
tersebut. Sebab, wacana hukum pidana bagi pelaku nikah siri itu memiliki dasar
kuat. Yakni, sebagai upaya meminimalkan angka perceraian dan penyelewengan
dalam pernikahan.

''Pernikahan itu sakral dan agung. UU Kependudukan dan UU Perkawinan sudah
mewajibkan suatu perkawinan dicatatkan. Namun, kedua UU tersebut tidak mengatur
sanksinya. Nah, wacana ini muncul karena dua UU tersebut tidak mampu menekan
angka perceraian dan penyelewengan,'' ujar Nasaruddin.

Kementerian Agama mencatat, 48 persen dari 80 juta anak di Indonesia lahir dari
proses perkawinan yang tidak tercatat. Artinya, 35 juta anak di Indonesia sulit
mendapatkan surat lahir, kartu tanda penduduk, hak-hak hukum seperti hak waris,
dan sebagainya. Selain itu, dari dua juta perkawinan per tahun, terdapat 200
ribu perceraian.

''Masalah-masalah seperti ini harus mendapatkan perhatian khusus pemerintah dan
itu diaplikasikan dalam RUU tersebut,'' ujarnya.

Lalu apa yang memicu polemik dalam RUU itu? Nasaruddin menjelaskan, isi RUU itu
memperketat tentang nikah siri, kawin kontrak, dan poligami. Namun, RUU itu
tidak membahas soal ahli waris dalam perkawinan Islam. Dalam RUU tersebut,
nikah siri dianggap ilegal sehingga pasangan yang menjalani pernikahan model
itu akan dipidanakan. ''Ada kurungan maksimal 3 bulan dan denda maksimal Rp 5
juta," ujarnya.

Menurut Nasaruddin, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang
dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Selain itu,
setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih
terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara.

Pegawai kantor urusan agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga
diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. Perkara perkawinan kontrak, dengan
alasan apa pun, kata dia, tidak dibenarkan. Nasaruddin menambahkan, nikah siri,
poligami, dan kawin kontrak dipidanakan karena banyak pihak yang dirugikan atas
pernikahan ini. ''Yang dirugikan kebanyakan perempuannya," ujarnya.

Beberapa pasal krusial -antara lain pasal 143-menyatakan bahwa setiap orang
yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat
nikah (PPN) akan dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi. Mulai enam bulan
hingga tiga tahun dan denda mulai Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.

RUU tersebut tak hanya menjadi ancaman bagi mereka yang melakukan pernikahan
siri, tapi juga pelaku kawin mut'ah atau kawin kontrak. Pasal 144 menjelaskan,
setiap orang yang melakukan perkawinan mut'ah dihukum selama-lamanya tiga tahun
penjara dan perkawinannya batal demi hukum.

RUU itu juga akan mengatur perkawinan campur antara mempelai yang berbeda
kewarganegaraan. Pasal 142 ayat 3 dalam RUU itu menyebutkan, calon suami yang
berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui
bank syariah Rp 500 juta. ''Karena sifatnya masih rancangan, tentu ini belum
fixed. Jadi, masih terbuka terhadap ragam masukan dan revisi,'' ujar salah satu
tokoh Nahdlatul Ulama (NU) tersebut.

Guru Besar Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yulian
Wahyudi mengatakan, mencatatkan perkawinan dalam tata usaha negara memang tidak
diwajibkan dalam syariat agama. Namun, syariat mewajibkan setiap orang tua
melindungi hak-hak keturunannya. Karena itu, menurut tafsirnya, setiap orang
tua wajib mencatatkan perkawinan agar seluruh hak anaknya terpenuhi.

Yulian menuturkan, sebagian ulama memang menilai pemerintah bukan pemegang
otoritas untuk menentukan hukum agama. Karena itu, dia mengusulkan dibentuk
lembaga yang terdiri atas ahli dan ulama (ijma ulama halli wal abdi) untuk
menguji masalah kontemporer seperti kewajiban pencatatan perkawinan.

"Kalau hal yang tidak dilarang syariat itu menimbulkan masalah, pemegang
otoritas diberi kewenangan oleh agama untuk mewajibkan mencatatkan perkawinan,"
lanjut doktor lulusan McGill University itu.

SUMBER : MAIL ARCHIVE http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups.com/msg23577.html

0 komentar:

Posting Komentar