Air Bertuah di Makam Sunan Bungkul
Ada yang meyakini, Bungkul adalah orang terkenal di akhir kebesaran Kerajaan Majapahit.
Saat berada di Surabaya, tidak lengkap rasanya jika belum berkunjung ke Taman Bungkul di Jl Raya Darmo, sekaligus berziarah ke Makam Mbah Bungkul.
Tetapi siapakah sebenarnya Mbah Bungkul? Ada catatan mengisahkan, tempat ini, 700 tahun silam sebelum bernama Surabaya, dikenal dengan sebutan 'Pertapaan Mbah Bungkul'.
Konon, Raden Rahmat atau Rahmatullah (kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel) diyakini pernah singgah di tempat ini setelah berbulan-bulan melakukan perjalanan dengan naik perahu dari Trowulan, Majapahit (sekarang Mojokerto, Jatim).
Konon, Raden Rahmat atau Rahmatullah (kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel) diyakini pernah singgah di tempat ini setelah berbulan-bulan melakukan perjalanan dengan naik perahu dari Trowulan, Majapahit (sekarang Mojokerto, Jatim).
Raden Rahmat singgah di tempat ini saat tengah menyusuri Kalimas sebelum menuju ke kawasan Ampel Denta (kawasan Surabaya Utara).
Dalam catatan ahli sejarah Belanda bernama GH Von Faber, di sebuah bukunya berjudul Oud Soerabaia ditulis, Bungkul, saat jaman kolonial sengaja tidak dikenalkan jatidiri sebenarnya.
Dalam catatan ahli sejarah Belanda bernama GH Von Faber, di sebuah bukunya berjudul Oud Soerabaia ditulis, Bungkul, saat jaman kolonial sengaja tidak dikenalkan jatidiri sebenarnya.
Entah apa maksudnya, yang jelas dalam buku itu tertulis, orang akan diganjar hukuman dan akan celaka atau (kualat=bahasa Jawa), jika mencoba menelisik siapa sebenarnya Mbah Bungkul.
Ada yang menyebut sosoknya sebagai lelaki keturunan Ki Gede atau Ki Ageng dari Kerajaan Majapahit. Lalu, bagaimana hubungannya dengan Raden Rahmat? Berikut penelusuran berhari-hari yang dilakukan VIVAnews.
Ada yang menyebut, Bungkul sebagai Ki Ageng Supo. Ada juga yang mengatakan Mpu Supo, sebutan orang tersohor yang memiliki kelebihan di zamannya. Setelah memeluk Islam, berganti sebutan menjadi Ki Ageng Mahmuddin.
Karena lama berada di kawasan Bungkul, ia kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Bungkul. Sebutan itu melekat saat pertemuannya dengan Raden Rahmat. Dari cerita beberapa sumber, Rahmat kemudian lama ikut ngawulo atau menetap di kawasan Bungkul yang saat itu masih berupa hutan belantara.
Ada juga yang meyakini, Bungkul adalah orang terkenal di akhir kebesaran Kerajaan Majapahit di abad XV. Tidak ada yang tahu atau literatur yang menyebut kenapa orang ini meninggalkan kerajaan dan mengembara hingga ke daerah yang kemudian bernama Surabaya ini.
Karena lama berada di kawasan Bungkul, ia kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Bungkul. Sebutan itu melekat saat pertemuannya dengan Raden Rahmat. Dari cerita beberapa sumber, Rahmat kemudian lama ikut ngawulo atau menetap di kawasan Bungkul yang saat itu masih berupa hutan belantara.
Ada juga yang meyakini, Bungkul adalah orang terkenal di akhir kebesaran Kerajaan Majapahit di abad XV. Tidak ada yang tahu atau literatur yang menyebut kenapa orang ini meninggalkan kerajaan dan mengembara hingga ke daerah yang kemudian bernama Surabaya ini.
Dipastikan, perjuangannya ikut membantu Raden Rahmat dalam syiar Islam di tanah Jawa membuat nama Bungkul semakin santer.
Sebutan Mbah Bungkul kemudian terus bertengger, ini dimaksudkan sebagai orang pertama di wilayah itu. Namanya juga disejajarkan dengan tokoh perjuangan Islam tingkat lokal seperti Syeh Abdul Muhyi di Tasikmalaya, Jawa Barat, Sunan Geseng di Magelang, Sunan Tembayat di Klaten, Ki Ageng Gribig di Klaten, Sunan Panggung di Tegal, Jawa Tengah, dan Sunan Prapen di Gresik, Jawa Timur serta wali-wali lokal lainnya di Nusantara.
Pada bulan Ramadan, banyak orang dengan berbagai keyakinan mendatangi tempat ini. Lelaki, perempuan, tua dan muda umumnya meyakini Mbah Bungkul adalah sosok kharismatik yang membantu perjuangan Raden Rahmat menyebarkan Islam di Jawa Timur khususnya.
"Saya mendapat pemahaman dari kiai saya, Mbah atau Sunan Bungkul ini guru sekaligus tokoh spiritualnya Raden Rahmat sebelum menjadi Sunan Ampel," kata Muhammad Khuzaini warga Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur yang saat itu berziarah bersama keluarganya.
Tidak sulit menemukan petilasan Mbah Bungkul. Setelah berada di kawasan Wonokromo atau yang dikenal dengan Kebun Binatang Surabaya (KBS), jika datang dari selatan Surabaya, bisa berjalan ke utara menuju Jl Raya Darmo pasti akan mendapati Taman Bungkul.
Sebutan Mbah Bungkul kemudian terus bertengger, ini dimaksudkan sebagai orang pertama di wilayah itu. Namanya juga disejajarkan dengan tokoh perjuangan Islam tingkat lokal seperti Syeh Abdul Muhyi di Tasikmalaya, Jawa Barat, Sunan Geseng di Magelang, Sunan Tembayat di Klaten, Ki Ageng Gribig di Klaten, Sunan Panggung di Tegal, Jawa Tengah, dan Sunan Prapen di Gresik, Jawa Timur serta wali-wali lokal lainnya di Nusantara.
Pada bulan Ramadan, banyak orang dengan berbagai keyakinan mendatangi tempat ini. Lelaki, perempuan, tua dan muda umumnya meyakini Mbah Bungkul adalah sosok kharismatik yang membantu perjuangan Raden Rahmat menyebarkan Islam di Jawa Timur khususnya.
"Saya mendapat pemahaman dari kiai saya, Mbah atau Sunan Bungkul ini guru sekaligus tokoh spiritualnya Raden Rahmat sebelum menjadi Sunan Ampel," kata Muhammad Khuzaini warga Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur yang saat itu berziarah bersama keluarganya.
Tidak sulit menemukan petilasan Mbah Bungkul. Setelah berada di kawasan Wonokromo atau yang dikenal dengan Kebun Binatang Surabaya (KBS), jika datang dari selatan Surabaya, bisa berjalan ke utara menuju Jl Raya Darmo pasti akan mendapati Taman Bungkul.
Atau, jika dari utara dan telah berada di Dermaga Ujung, Tanjung Perak, bisa melanjutkan ke tengah kota dan menuju Jl Raya Darmo. Dan, jika masuk dari arah barat atau Gresik, juga langsung saja mencari arah ke Jl Raya Darmo yang berada di tengah kota Surabaya.
Sesampai di lokasi ini, umumnya pengunjung melakukan sholat di surau kecil yang dulu dibangun Mbah Bungkul bersama Raden Rahmat. Kemudian, bisa dilanjutkan berziarah di makam Mbah Bungkul dan sejumlah pengikutnya yang terhampar di satu lokasi berdekatan.
Sesampai di lokasi ini, umumnya pengunjung melakukan sholat di surau kecil yang dulu dibangun Mbah Bungkul bersama Raden Rahmat. Kemudian, bisa dilanjutkan berziarah di makam Mbah Bungkul dan sejumlah pengikutnya yang terhampar di satu lokasi berdekatan.
Usai berziarah, pengunjung bisa menikmati satu lagi keajaiban yang hingga saat ini masih terjaga, yakni menikmati air sumur buatan Mbah Bungkul dan Raden Rahmat untuk diminum. "Seperti peziarah lainnya, saya yang beberapa kali datang ke tempat ini selalu mengambil air sumur untuk diminum. Selebihnya, saya bawa pulang dengan botol plastik," tutur Khuzaini kepada VIVAnews.
Cerita lain, menyebutkan 'sumur tua' yang diapit pohon sawo kecik dan beringin itu dibuat keduanya (Mbah Bungkul dan Raden Rahmat) dalam semalam.
Cerita lain, menyebutkan 'sumur tua' yang diapit pohon sawo kecik dan beringin itu dibuat keduanya (Mbah Bungkul dan Raden Rahmat) dalam semalam.
Konon, saat akan mengambil air wudhu untuk sholat malam, Raden Rahmat tidak menjumpai air. Kemudian, sesaat setelah bermunajad, ia mengajak Mbah Bungkul untuk menggali tanah. Dalam sekejap galian itu sudah mengeluarkan air yang sangat bening dan sejuk.
"Saya mendapat cerita itu dari lelaki warga Surabaya bernama Mbah Seto yang tinggal di Kembang Kuning," kata Kartiman (62), warga Sumenep, Madura yang merantau ke Surabaya sejak berumur 17 tahun.
Sejak itu, keberadaan sumur dan dua orang yang bisa dimintai pertimbangan, membuat satu persatu orang bergabung dan ikut menetap. Mereka 'belajar' apa saja dari keduanya hingga akhir hayat.
Terlepas banyaknya legenda atau mungkin kontroversi cerita tentang sejarah Mbah Bungkul di Surabaya. Hingga kini, apalagi menjelang 1 Muharram atau Ramadan, kawasan Taman Bungkul yang dipastikan dulu berupa hutan belantara yang kini telah berubah wajah dan suasana masih terus ramai dikunjungi banyak orang dari berbagai penjuru.
Sejak itu, keberadaan sumur dan dua orang yang bisa dimintai pertimbangan, membuat satu persatu orang bergabung dan ikut menetap. Mereka 'belajar' apa saja dari keduanya hingga akhir hayat.
Terlepas banyaknya legenda atau mungkin kontroversi cerita tentang sejarah Mbah Bungkul di Surabaya. Hingga kini, apalagi menjelang 1 Muharram atau Ramadan, kawasan Taman Bungkul yang dipastikan dulu berupa hutan belantara yang kini telah berubah wajah dan suasana masih terus ramai dikunjungi banyak orang dari berbagai penjuru.
Selain pengunjung lokal, tidak sedikit pelancong mancanegara yang datang ke tempat bersejarah tersebut.
Selain pengunjung perorangan, tidak sedikit mereka datang berombongan dengan menumpang bis dari berbagai daerah. Umumnya, peziarah merangkai jadwal kunjungannya bersamaan dengan sejumlah makam wali yang tersebar di Jawa Timur serta lokasi lainnya di luar Provinsi Jawa Timur.
Penasaran? Bisa membuktikan sendiri datang ke Makam Mbah Bungkul. Kini, setelah dipugar, tidak hanya lokasi bersejarah tersebut yang bisa dinikmati. Sebab, Pemkot Surabaya telah memadukan dengan sejumlah fasilitas lain. Ada taman kota lengkap dengan jajanan dan makanan khas Surabaya termasuk keberadaan permainan anak.
Selain pengunjung perorangan, tidak sedikit mereka datang berombongan dengan menumpang bis dari berbagai daerah. Umumnya, peziarah merangkai jadwal kunjungannya bersamaan dengan sejumlah makam wali yang tersebar di Jawa Timur serta lokasi lainnya di luar Provinsi Jawa Timur.
0 komentar:
Posting Komentar