Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Sultan Adiwijaya pada tahun 1568,
tidak berumur panjang. Kerajaan Pajang terus mengadakan ekspansi ke Jawa
Timur. Setelah berhasil menaklukkan penguasa-penguasa lokal di Jawa Timur
Raja Pajang memberikan hadiah kepada dua orang yang berjasa dalam
penaklukan-penaklukannya, yaitu Ki Ageng Pamanahan dan Ki Ageng
Panjawi. Ki Ageng Pamanahan yang telah berjasa dalam pertempuran melawan
Aria Panangsang, diberi kekuasaan di Mataram, sedangkan Ki Ageng Panjawi
diberi kekuasaan di Pati.
Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan (1584), putranya yang bernama
Panembahan Senopati Ing Alaga (Sutawijaya), menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai Adipati Mataram dan sekaligus diangkat sebagai panglima
tentara Pajang.
Setelah Sultan Adiwijaya meninggal tahun 1582, takhta Pajang direbut
Aria Pangiri (menantu Adiwijaya). Putra Adiwijaya yang bernama Pangeran
Banowo meminta bantuan kepada Adipati Mataram, Panembahan Senopati,
untuk merebut takhta kerajaan. Aria Pangiri kalah dan melarikan diri ke Banten,
sementara Pangeran Banowo menyerahkan takhta kerajaan kepada Panembahan
Senopati. Berakhirlah Kerajaan Pajang dan selanjutnya berdirilah Kerajaan
Mataram.
Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram didirikan oleh Panembahan Senopati Ing Alaga
(Sutawijaya) (1584-1601), pada sekitar abad ke-16. Pusat kerajaan terletak
di Yogyakarta. Ia mempunyai cita-cita untuk mempersatukan Jawa ke dalam
pengaruh kekuasaannya. Untuk itu, ia melakukan perluasan kekuasaan kedaerah Demak, Madiun, Kediri, Ponorogo, Tuban, dan Pasuruan. Tetapi
cita-citanya itu mendapat rintangan dari daerah lainnya dan Surabaya tidak
dapat ditaklukkan. Para pelaut Belanda melaporkan tentang ekspedisi Mataram
melawan Banten sekitar tahun 1597 yang mengalami kegagalan.
Senopati meninggal tahun 1601, dan dimakamkan di Kota Gede. Ia
digantikan oleh putranya bernama Mas Jolang terkenal dengan nama
Panembahan Seda Ing Krapyak (1601-1613). Pada tahun 1602, Pangeran
Puger, saudara sepupu raja yang telah diangkat sebagai penguasa Demak
melakukan pemberontakan. Pada tahun 1602, Krapyak dipaksa mundur, namun
sekitar 1605 Pangeran Puger berhasil dikalahkannya. Pada masa Krapyak
ini, Mataram mengadakan kontak pertamanya dengan VOC. Pada tahun 1613
dia mengirim duta kepada Gubernur Jenderal Pieter Both di Maluku untuk
mengadakan persekutuan. Kemungkinan Krapyak beranggapan bahwa dia
dan VOC sama-sama memusuhi Surabaya.
Setelah Krapyak meninggal, takhta kerajaan
diserahkan kepada anaknya yang bernama Raden
Rangsang yang terkenal dengan gelar Sultan Agung
(1613-1645). Dialah raja Mataram terbesar dalam
sejarah. Seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk
Madura mengakui kedaulatan Mataram. Pada tahun
1625, ia berhasil menaklukkan Surabaya yang sukar
dikalahkan. Di Jawa Barat, kekuasaan Mataram
tertanam di Cirebon, Sumedang, dan Ukur (Bandung
sekarang). Cita-citanya untuk mempersatukan seluruh
Jawa di bawah kekuasaannya tidak berhasil. Banten
yang merupakan saingan utamanya tidak berhasil
dikuasai.
Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan
dalam berbagai bidang di antaranya dalam bidang perekonomian. Mataram
adalah sebuah negara agraris yang mengutamakan mata pencahariannya dalam
bidang pertanian. Kehidupan masyarakatnya berkembang dengan pesat yang
didukung oleh hasil bumi yang berupa beras (padi). Di bidang kebudayaan
Sultan Agung berhasil membuat Kalender Jawa, yang merupakan perpaduan
tahun Saka dengan tahun Hijriyah. Dalam bidang seni sastra, Sultan Agung
mengarang kitab sastra gending yang berupa kitab filsafat. Sultan Agung juga
menciptakan tradisi Syahadatain (dua kalimah syahadat) atau Sekaten, yang
sampai sekarang tetap diadakan di Yogyakarta dan Cirebon setiap tahun.
Tumbuhnya kerajaan Mataram yang bersifat agraris bersamaan dengan
tumbuhnya susunan masyarakat feodal. Susunan masyarakat feodal Mataram
dibedakan antara penguasa dengan yang dikuasai dan antara pemilik tanah dengan penggarap. Ketika kekuasaan Mataram dibagi-bagi oleh pemerintah
kolonial Belanda, sistem feodalisme Mataram tetap dipertahankan. Puncak
hierarki masyarakat feodal berada di tangan raja. Untuk melambangkan status
kebesaran raja dapat dilihat dari bangunan keratonnya. Sultan Agung membangun
Keraton Mataram di Karta dan Sitinggil (Yogyakarta) pada tahun 1614 dan
1625 yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid
besar, dan kolam.
Sementara itu, VOC berhasil menduduki Batavia. Sultan Agung berusaha
melakukan serangan ke Batavia (markas VOC) pada tahun 1628 dan 1629
dengan tujuan untuk mengusir Belanda dari Batavia, tetapi serangan itu mengalami
kegagalan. Serangannya yang pertama pada tahun 1628, membuat beberapa
kali benteng VOC terancam jatuh, namun upaya ini belum berhasil, pihak
Jawa menderita kerugian besar. Pada tahun 1629, Sultan Agung mencoba
lagi melakukan serangan kedua. Serangan ini pun ternyata mengalami kegagalan
pasukan-pasukan Mataram mulai bergerak pada akhir Mei, tetapi pada bulan
Juli kapal-kapal VOC berhasil menemukan dan menghancurkan gudang-gudang
beras dan perahu-perahu di Tegal dan Cirebon yang disiapkan untuk tentara
Sultan Agung. Penyerangan terhadap Batavia hanya bertahan selama beberapa
minggu, pihak Sultan Agung banyak mengalami penderitaan yang disebabkan
oleh penyakit dan kelaparan.
Pada tahun 1645, Sultan Agung wafat dan dimakamkan di situs pemakaman
di puncak bukit tertinggi di Imogiri, yang ia buat sebelumnya. Kerajaan Mataram
kemudian dipimpin oleh putranya, Amangkurat I (1647-1677). Pada masa
pemerintahannya, Mataram mengalami kemunduran karena masuknya pengaruh
Belanda. Amangkurat I dan pengganti-pengganti selanjutnya bekerja sama
dengan VOC dan penguasa Belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Belanda
untuk menguasai tanah Jawa yang subur.
Belanda berhasil memecah belah Mataram. Pada tahun 1755 dilakukan
Perjanjian Giyanti, yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua wilayah
kerajaan, yaitu:
1) Daerah kesultanan Yogyakarta yang dikenal dengan nama Ngayogyakarta
Hadiningrat dipimpin oleh Mangkubumi sebagai rajanya dengan gelar
Sultan Hamengkubuwono I.
2) Daerah Kasunanan Surakarta, dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwono.
Campur tangan Belanda mengakibatkan kerajaan Mataram terbagi menjadi
beberapa bagian, sehingga pada tahun 1813 terdapat empat keluarga raja
yang masing-masing memiliki wilayah kekuasaan, yaitu: Kerajaan Yogyakarta,
Kasunanan Surakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/history/2080004-sejarah-kerajaan-pajang-kerajaan-mataram/#ixzz1aBmGjzmd
0 komentar:
Posting Komentar