Dalam merencanakan pengelolaan usaha, langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang wirausahawan adalah menganalisis potensi pasar, berdasarkan jenis produk, jasa, minat dan daya beli konsumen. Dengan menganalisis potensi pasar, Anda dapat memperkirakan daya serap konsumen terhadap produk/jasa yang hendak kita tawarkan. Hal ini sangat penting sebagai ukuran apakah sektor usaha yang akan kita masuki masih menjanjikan keuntungan atau tidak. Untuk itu Anda harus melakukan penelitian pasar, mencari dan mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan pasar dan menentukan lokasi usaha yang strategis sesuai dengan produk/jasa yang akan dijual.
Suatu peluang usaha atau gagasan tentang kemungkinan ekonomi suatu kegiatan bisnis harus selalu diikuti oleh potensi pasar yang menjanjikan sehingga roda usaha dapat berjalan dan memberikan keuntungan yang diharapkan. Tak sedikit memang, kisah pengusaha yang sukses membangun bisnis karena melihat sebuah potensi pasar. Tapi, tak sedikit pula kisah kegagalan usaha karena keyakinan tersebut salah.
Lantas, apa yang bisa dilakukan seorang calon pengusaha untuk mengukur potensi pasar atas peluang yang dilihatnya? Potensi pasar dapat dianalisis melalui pendekatan permintaan dan penawaran dan dengan membatasi jangkauan pasar.
a) Pendekatan Permintaan
Pendekatan permintaan menekankan tentang kebutuhan manusia yang sampai sekarang belum sepenuhnya terpenuhi atau kemungkinan sudah terpenuhi namun kurang memuaskan. Misalnya, masyarakat di wilayah pedesaan banyak yang pergi ke kota untuk belanja pakaian. Artinya, golongan masyarakat tersebut membutuhkan pakaian sesuai dengan selera mereka yang tidak dapat diperoleh di desa atau mungkin dapat diperoleh di desa, tetapi harganya terlalu mahal. Jadi, di desa ini terdapat peluang usaha untuk menyediakan pakaian sesuai kebutuhan masyarakat desa. Begitupula dengan tempat hiburan yang belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh masyarakat di pedesaan.
Melalui pendekatan permintaan Anda dapat mengetahui jumlah permintaan terhadap produk/jasa yang meliputi : Sasaran pembeli/konsumen, Jumlah konsumen, Jumlah kebutuhan, Total kebutuhan pertahun.
b) Pendekatan Penawaran
Pendekatan penawaran berawal dari kemampuan wirausaha dalam membuat suatu produk/barang, memberikan pelayanan jasa atau gabungan dari keduanya. Dari sini barulah mulai mencari adakah pasarnya atau orang-orang yang membutuhkannya. Misalnya, seorang wirausaha memproduksi genteng dengan kualitas yang bersaing. Dengan kualitas genteng yang bersaing tersebut, lalu apakah berarti para calon konsumen, developer, pemborong pembangunan rumah dan sebagainya kira-kira berminat membeli, sebab harga genteng produksi wirausaha ternyata lebih mahal dibandingkan genteng dengan kualitas yang sama di pasaran saat ini. Apakah konsumen mempunyai daya beli berminat untuk membeli genteng yang lebih mahal dengan kualitas sama atau membeli genteng yang harganya sama dengan kualitas yang baik. Begitupun kalau Anda ingin membuka toko kue, salon kecantikan, usaha pijat dan usaha lainnya.
Melalui pendekatan penawaran wirausaha juga dapat mengidentifikasi banyaknya pesaing yang membuat produk/jasa yang sama.
c) Membatasi Jangkauan Pasar.
Anda mesti mengukur secara rasional seberapa luas jangkauan usaha Anda dan tentukan siapa target pasar Anda. Kalau Anda hendak membuka mini market di rumah, kira-kira calon pembelinya datang sendiri dari satu RT saja, satu RW, sekompleks, atau sekecamatan? Jika Anda hendak membuka toko furniture di pinggir jalan, Anda mesti memperkirakan apakah calon pembeli hanya datang dari tetangga sepanjang jalan atau orang-orang dari luar kota yang melintas di jalan depan gerai anda.
Kalau jangkauan wilayah sudah Anda tentukan, silakan hitung tingkat perkiraan konsumsi calon pelanggan Anda. Perkirakan seberapa sering mereka akan berbelanja, dan seberapa banyak belanjaan mereka setiap kali datang. Tentu anda bisa menghitung berapa besar pengeluaran setiap tetangga se-RT untuk memenuhi kebutuhan makan (beras, ikan asin, minyak goreng, tepung, dan lainnya) serta perawatan tubuh dan pakaian (sabun, odol, sabun cuci, sampo dan sebagainya). Kira-kira, apakah mereka semua bersedia untuk belanja di warung Anda? Mungkin dalam satu RT sudah ada dua warung serupa, sehingga hanya seperempat rumah tangga se-RT yang Anda perkirakan akan berlangganan. Nah, apakah dengan pelanggan potensial sebanyak itu, keuntungan yang Anda dapat cukup ekonomis?
Dari menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu, kita bisa mengambil keputusan apakah peluang yang ada layak untuk diwujudkan atau tidak. Menghitung potensi pasar sedari awal juga memaksa kita untuk berpikir lebih keras dan kreatif. Kalau potensi pasar dengan jangkauan yang kita tetapkan tak memuaskan, misalnya, kita bisa mempertimbangkan segala kemungkinan untuk memperluas jangkauan pasar. Agar bisa menjangkau RW tetangga, umpamanya, boleh jadi kita perlu memberi layanan delivery order.
Itu sekedar contoh. Anda juga mesti hati-hati. Jangan menyamakan potensi pasar dan harapan. Anda boleh saja berharap warung kelontong di rumah bakal dikerubuti penduduk se-kota Anda, tapi terlalu naif kalau beranggapan itulah potensi pasar warung Anda.
Melihat Diri Sendiri atau Membaca Artikel
Masalahnya sekarang, bagaimana cara memperkirakan frekuensi dan volume pembelian dari calon pelanggan-pelanggan kita? Cara paling gampang adalah dengan melihat pola konsumsi kita sendiri.
Taruh kata Anda punya ide membuka toko di rumah yang khusus berjualan susu instan untuk balita. Berhubung belum ada toko serupa, Anda berani menetapkan jangkauan pasar usaha Anda bakal seluas kompleks. Setelah itu, Anda mesti menghitung ada berapa banyak rumah tangga yang memiliki anak balita.
Kalau sudah ketemu, Anda juga perlu memperkirakan berapa banyak susu yang harus dibeli oleh setiap rumah tangga saban bulan. Kalau semua penduduk kompleks mau belanja di tempat Anda, berapa total penjualan Anda dalam sebulan? Dari situ Anda bisa memperkirakan besarnya laba yang bakal Anda peroleh dan menarik kesimpulan cukup memuaskan atau tidak. Hasil perhitungan itulah yang akan menjadi dasar pijakan untuk mewujudkan rencana atau mencari gagasan usaha baru.
Bagaimana kalau jenis usaha yang hendak kita geluti jauh dari pola hidup atau konsumsi kita? Calon pebisnis bisa mencari informasi melalui buku, artikel di media massa, internet, maupun seminar. Contohnya begini. Anda mendapat tawaran kerja sama membuka bisnis warung telekomunikasi (wartel). Berhubung tak biasa menelepon lewat wartel, Anda tak gampang memperkirakan tingkat penggunaan telepon di wartel. Untungnya, kalau Anda mau berburu artikel tentang bisnis wartel, tentu bakal tahu bahwa bisnis ini sudah terlalu jenuh. Hanya, lewat artikel-artikel itu pula kita bisa mendapat gambaran bahwa ada lokasi-lokasi tertentu yang sangat bagus untuk membuka wartel. Misalnya, di dekat kampus, pabrik, atau rumah-rumah kontrakan para perantau. Dari situ Anda bisa menolak ajakan tadi atau merelokasi calon wartel Anda ke lokasi yang lebih berprospek.
Ada sebuah contoh yang menarik tentang kegagalan bisnis seorang pedagang ponsel akibat keliru memperhitungkan potensi pasar. Ahmad, sebut saja begitu, menyewa kios kecil dengan tarif Rp 10 juta per tahun di tepi sebuah jalan raya di kawasan Jakarta Timur. Jalan itu sangat ramai, dilalui kendaraan dari dua arah. Pokoknya termasuk lokasi prima untuk berdagang. Jual beli ponsel, voucher pulsa, dan aksesorinya ini terbilang sektor bisnis yang memberikan janji keuntungan lumayan. Maklum, semua orang kini punya ponsel sehingga perlu membeli pulsa.
Tapi, lihat apa yang terjadi. Ahmad hanya kuat membuka kiosnya selama tiga bulan. Setelah itu dia memilih tutup. Sebabnya sederhana. Kendati ramai dilalui pengunjung, nyaris tidak pernah ada orang yang mau mampir ke kiosnya untuk membeli ponsel. Semua orang se-Jabodetabek lebih suka mendatangi Roxy atau ITC Ambasador untuk berbelanja ponsel. Bagaimana dengan pembeli voucher pulsa? Sial benar Ahmad. Walau ada pembelinya, volume penjualannya tak banyak. Margin yang bisa dia nikmati terlampau kecil, walaupun dia sudah membuka kiosnya sampai jam 10 malam.
Rupanya Ahmad kurang cermat menghitung potensi pasar. Ternyata dari pengamatan, dalam radius 1 kilometer dari kios Ahmad, paling tidak ada 5 kios serupa. Lucunya, sekitar 2 kilometer dari lokasi tadi terdapat pusat perbelanjaan yang sebagian lantainya disewakan khusus bagi pedagang HP. Otomatis orang-orang di sekitar lokasi itu lebih suka bertandang ke sana untuk membeli pernak-pernik HP.
Andaikata Ahmad mau telaten sedikit menghitung potensi pasar sebelumnya, dia bakal tahu bahwa tak lama sebelum dia membuka kios, tak jauh dari lokasinya juga pernah ada kios ponsel yang cuma tahan buka empat bulan dengan alasan tidak laku.
Itulah sebabnya, disarankan para calon usahawan untuk menakar apakah sektor yang ingin dimasuki masih ekonomis atau tidak. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk itu.
Pertama, sebaiknya Anda melakukan observasi dan wawancara dengan pelaku bisnis serupa yang ada di dekat lokasi Anda. Misalkan Anda ingin membuka toko kelontong di sebuah kompleks, luangkan waktu seharian di dekat toko yang sudah ada. Amati dan catat jumlah orang yang datang ke toko tersebut pada hari itu. Amati pula bagaimana pemilik toko klontong menerima dagangan dari pemasok di toko atau mengambil sendiri ke pemasok. Apabila barang diantar ke toko, silakan berpura-pura berbelanja pada saat si pemilik menerima barang tersebut, sehingga Anda dapat mengetahui cara si pemilik bertransaksi dengan pemasok.
Kalau kebetulan pemilik toko cukup ramah, Anda bisa bercakap-cakap lebih jauh tentang peluang dan resiko yang selama ini dia hadapi, sekaligus kiat-kiat untuk menghadapi kendala yang ada. Tapi, awas, semua itu harus dilakukan dengan hati-hati. Soalnya bisa jadi si pemilik toko akan marah kalau kemudian dia tahu bahwa Anda akan menjadi pesaingnya.
Jika ingin mendapatkan hasil lebih akurat, disarankan agar riset serupa itu tidak hanya dilakukan pada satu toko. Bahkan, kalau perlu Anda bisa membuat survei sederhana melalui penyebaran formulir. Tidak ada aturan khusus mengenai riset ini, yang penting Anda bisa menyimpulkan potensi yang ada. Untuk mengurangi risiko “ketahuan” para pemilik toko yang diriset, tentu saja Anda bisa melakukannya lewat orang lain.
Mendekati Pesaing yang Sudah Mapan
Cara lain untuk “menebak” potensi pasar bisa dilakukan dengan memanfaatkan keberadaan usaha sejenis yang sudah dulu ada. Seorang pengusaha pemilik beberapa toko grosir sembako di Bogor punya kiat sederhana tapi jitu dalam memastikan potensi pasar. “Saya selalu mencari lokasi usaha di dekat grosir sembako yang ramai hingga pembeli pada antre panjang. Saya dirikan saja toko serupa di dekatnya. Hampir pasti toko baru ikut ramai juga,” kata pengusaha ini. Tentu saja dia berani bersaing harga, pelayanan dan kelengkapan barang dagangan dengan toko yang sudah ada.
Kalau anda cermati, jurus serupa juga dilakukan oleh beberapa jaringan minimarket waralaba. Ketimbang susah-sasah melakukan riset sendiri, rupanya sebagian waralaba minimarket lebih suka “menempel” pada minimarket lain yang telah ada. Kalau di sebuah gedung perkantoran ada penjual bubur ayam yang sangat laris, ikut-ikutan saja buka bubur ayam serupa di gedung sebelahnya. Kan pembelinya sejenis, duitnya sama, seleranya juga serupa. Tinggal kita berinovasi atas produk dan layanan saja.
Persaingan yang ketat bukan berarti selalu menunjukkan bahwa potensi pasar bakal kecil. Kita pasti berpikir bahwa keberadaan saingan pasti akan menurunkan omzet kita. Padahal dari kalau dilihat dari pihak konsumen, tentu lebih senang berbelanja di tempat atau lokasi yang bisa memberikan banyak pilihan. Baik dari segi jenis barang atau jasa, dan juga dari segi harga. Buntut-buntutnya, di mana ada satu sentra pembelanjaan, maka konsumen akan beramai-ramai datang ke tempat itu. Kalau lokasinya strategis dan berada di pingir jalan yang ramai, serta dilewati kendaraan dua arah. Di jalan seperti ini potensi pelanggan pasti besar.
Di samping itu, kalau ingin pelanggan banyak kios jangan terlalu sempit. Misalnya, selain perlu untuk memajang onderdil, tempat yang luas diperlukan agar pelanggan bisa menunggu kendaraannya diperbaiki dengan lebih nyaman. Asal teknisi kita bagus, pelayanan kita bagus, kita ramah, dan tempatnya nyaman pelanggan pasti banyak. Unsur kepercayaan juga dalam bisnis jasa lebih utama. Salah satu kiatnya dalam menjaring konsumen adalah dengan menyediakan produk-produk yang memang tengah laris, seperti obat-obat yang membuat lelaki lebih perkasa.
Membuat Analisis Usaha
Potensi pasar merupakan komponen kunci agar analisis usaha bisa kita susun seakurat mungkin. Analisis usaha sendiri merupakan perhitungan awal yang perlu dilakukan untuk memberi gambaran apakah usaha yang hendak kita geluti memberikan untung atau tidak. Lewat analisis semacam ini pula kita bisa memperkirakan berapa banyak keuntungan yang bisa kita peroleh secara rutin. Pada gilirannya, kita juga bisa memperkirakan berapa lama modal yang kita tanam bakal balik.
Berikut komponen sebuah analisis usaha sederhana:
1.Investasi.
Sebuah analisis usaha sederhana biasanya diawali keterangan mengenai besarnya investasi atau modal yang kita tanam. Jangan menyamakan investasi dengan biaya. Investasi adalah dana yang perlu kita keluarkan sekali dan tidak berhubungan dengan kegiatan rutin usaha. Contoh investasi adalah pembelian lahan, mesin, peralatan, pengurusan izin usaha, pendirian bangunan, pembelian peralatan, dan sebagainya. Total dana yang yang dihabiskan untuk mengadakan itu semua disebut investasi.
2.Menghitung Biaya.
Berbeda dengan investasi, biaya adalah dana yang mesti kita keluarkan secara rutin dan periodik selama kita menjalankan usaha. Biaya ini terdiri dari biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah biaya yang harus kita bayarkan rutin dengan nilai yang tetap, tak peduli besarnya perputaran usaha kita. Contoh biaya seperti ini adalah service charge bagi pemilik kios atau toko di mal, biaya pegawai, telepon, listrik, air minum, atau biaya sewa tempat—kalau bukan milik sendiri.
Adapun biaya tidak tetap adalah biaya yang kita keluarkan secara rutin, namun nilainya tergantung pada besar kecilnya perputaran bisnis kita. Biaya pembelian bahan baku, bahan penunjang, kemasan, komisi pegawai, pengiriman barang dan sebangsanya adalah contoh biaya tidak tetap. Prinsipnya, biaya ini jadi besar kalau penjualan kita meningkat, sebaliknya ikut menyusut kalau penjualan kita turun.
Oh ya, biaya tetap bagi satu jenis usaha bisa jadi termasuk biaya tidak tetap bagi jenis usaha yang lain. Contohnya, biaya listrik bagi toko kelontong jelas masuk biaya tetap, tapi bagi pabrik pemintal benang yang mesinnya menggunakan listrik, jelas masuk biaya tidak tetap. Oleh sebab itu, saat menentukan besarnya biaya tidak tetap ini selalu sesuaikan dengan asumsi penjualan yang anda perkirakan.
3.Asumsi Penjualan.
Berhubung usahanya sendiri belum berjalan, maka angka-angka tersebut baru berupa asumsi. Di sinilah perlunya kita menakar potensi pasar. Hasil kalkulasi itulah yang kita pakai sebagai asumsi penjualan.
Nah, kalau seluruh angka perkiraan itu sudah ada, kini tiba saatnya Anda menyusul tabulasi. Pertama-tama, taruh investasi di bagian paling atas, berikut total nilainya. Di bawahnya bisa Anda cantumkan angka asumsi penjualan. Di bawahnya lagi Anda sertakan total biaya.
Langkah selanjutnya, Anda cuma perlu mengurangi angka penjualan per bulan dengan besarnya biaya per bulan. Selisih di antaranya itulah yang kita sebut laba. Kalau hasilnya negatif, ya, berarti rugi. Setelah angka perkiraan ketahuan, silakan evaluasi. Apakah Anda puas dengan nilainya? Untuk mengukur “kepuasan” itu, Anda bisa membagi nilai investasi dengan besarnya laba. Hasilnya merupakan perkiraan waktu untuk mencapai balik modal.
Kalau Anda belum puas dengan perkiraan laba yang Anda dapat, silakan evaluasi lagi, apakah ada kemungkinan melakukan efisiensi biaya? Atau, adakah kemungkinan untuk memperbesar asumsi penjualan secara rasional? Kalau hasilnya tak memuaskan juga, ya terserah Anda untuk merealisasikan rencana bisnis itu atau tidak.
0 komentar:
Posting Komentar